Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Lampung, Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag
MATAMATA.ID (BANDARLAMPUNG) – Tanpa ada karunia nikmat yang dianugerahkan Allah swt. Kita masih bisa bergerak, sehat, dan diberi hidayah untuk bisa melangkahkan kaki ke tempat ini, merupakan nikmat yang tidak semua orang bisa melakukannya.
“Dari kita ini pasti ada dan tahu, ada sebagian saudara kita yang tidak bisa merayakan Lebaran Idul Fitri 1444 H karena sakit atau belum diberi hidayah oleh Allah. Atau juga ada yang pada Ramadhan kemarin masih bersama-sama dengan kita namun saat ini sudah tidak ada lagi karena telah kembali ke Rahmatullah,”
Hal tersebut diungkapkan, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Lampung, Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag
Prof. Mukri menambahkan, nikmat yang tak bisa kita hitung satu persatu ini, wajib kita syukuri biqauli Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Nikmat agung ini bukan untuk dikufuri dan didustakan.
Selain ungkapan syukur, menjadi keniscayaan bagi kita semua untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Apa itu takwa? Takwa adalah:
“Melaksanakan segala perintah Allah saw, menjauhi segala larangan-Nya dalam kondisi dan situasi sunyi maupun terang-terangan, lahir maupun batin, dilihat maupun tidak dilihat orang lain, dipuji maupun tidak dipuji orang,” ujarnya.
Masih kata Prof. Mukri, kita harus menyadari bahwa tujuan utama dari disyariatkannya ibadah puasa Ramadhan adalah untuk menjadikan kita orang-orang bertakwa.
“Dengan Hikmah Ramadhan, Nuzulul Qur’an, dan Idul Fitri Kita Tingkatkan Kualitas Iman dan Takwa dalam Rangka Menanamkan Kejujuran dan Kedisiplinan Guna Mewujudkan Polri Presisi,” jelasnya.
Lanjut Prof. Mukri, Setelah memahami esensi dan tujuan puasa di bulan Ramadhan, pertanyaan mendasar yang perlu kita tanyakan pada diri kita adalah: “Apakah setelah melaksanakan puasa satu bulan penuh pada tahun ini, kita sudah masuk dalam golongan orang-orang yang beriman dan bertakwa?
Apakah kejujuran dan kedisiplinan sebagai nilai-nilai yang membersamai iman dan takwa sudah bersemayam dalam diri kita? “Jawabannya hanya Allah swt yang tahu dan hati kita yang bisa merasakannya,” terangnya.
Selama Ramadhan kita telah dilatih untuk meningkatkan iman dan takwa dengan nilai-nilai kejujuran dan kedisplinan. Ini bisa kita lihat dari komitmen kita saat berpuasa bukan karena ingin dilihat dan dipuji orang lain. Terlebih, puasa adalah ibadah yang hanya diri kita sendiri dan Allah swt yang tahu.
Tidak menjamin, orang yang terlihat lemas dan pucat melaksanakan ibadah puasa. Tidak menjamin pula orang yang tetap energik dan produktif selama Ramadhan tidak berpuasa. Jadi kejujuran menjadi sikap utama yang digembleng dalam puasa.
Artinya: ” ‘Kalian harus berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.” (HR Bukhari Muslim).
“Kejujuran yang sudah kita latih pada Ramadhan sudah seyogyanya terus kita aplikasikan dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Di rumah, di kantor, di masyarakat, kejujuran harus kita praktikan agar kebaikan-kebaikan dan keberkahan mendatangi kita. Wujud dari kejujuran ini di antaranya bisa terlihat dari tingkah berkata sesuai fakta, bertindak dengan bijak, karya nyata bukan karya kata, bersaksi sesuai hati nurani, menepati janji, menegakkan keadilan menumpas kesewenangan, dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya,” jelasnya lagi.
Prof. Mukri menerangkan, Idul Fitri menjadi momentum tepat dalam menguatkan kejujuran dan menyingkirkan kebohongan. Dengan budaya halal bihalal yang sudah menjadi tradisi luhur bangsa Indonesia, saatnya kita menyampaikan permohonan maaf dengan sejujur-jujurnya dan seikhlas-ikhlasnya kepada orang-orang yang pernah berinteraksi dengan kita. Dengan langkah ini, insyaAllah kita akan membuka lembaran putih baru dan kita benar-benar kembali kepada kesucian Idul Fitri.
“Sikap jujur juga berkaitan erat dengan sikap kedisiplinan. Pada momentum Ramadhan, kita sudah digembleng untuk senantiasa disiplin melakukan ibadah dan aktivitas keseharian lainnya. Kita mulai berpuasa dan berbuka senantiasa disiplin sesuai waktunya. Kita melaksanakan shalat, wajib maupun sunnah, sesuai dengan waktunya. Kita juga dididik untuk disiplin menjaga kesehatan, seiring dengan perubahan pola makan dan perubahan aktivitas istirahat dan sebagainya,” terangnya lagi.
Prof. Mukri mengingatkan, kedisiplinan ini harus terus dipertahankan dan dilakukan pasca-Ramadhan dan mencakup bukan saja aktivitas ibadah namun juga aktivitas pekerjaan kita sehari-hari. Mari berupaya menjadi pribadi yang disiplin, konsisten, atau istiqamah khususnya dalam kebaikan dan kebenaran. Pribadi yang disipilin tidak akan mudah terombang ambing dan digoyahkan dengan kondisi yang ada di sekitar kita.
“Mari perkuat keikhlasan kita dalam menjalankan peran di kehidupan bermasyarakat dengan berpegang teguh pada koridor hukum negara dan hukum agama agar kita senantiasa meraih keselamatan dan keberkahan. Semoga Allah swt senantiasa memberikan maunah dan hidayah kepada kita semua,” tutupnya. (Harry)