MATAMATA.ID — Sekitar 400 guru honorer dari berbagai SMA/SMK negeri di Provinsi Lampung yang tergabung dalam Aliansi R4 Honorer mendatangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Keadilan Bandar Lampung, pada Senin, 7 Juli 2025. Mereka menyuarakan keresahan atas ketidakjelasan status mereka pasca mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Dengan didampingi LBH Rumah Keadilan, para guru honorer ini menyampaikan tuntutan akan kejelasan regulasi terhadap status mereka yang dikategorikan sebagai peserta seleksi P3K kode R4, status yang hingga kini masih “menggantung” tanpa kepastian.
“Kami menerima banyak aduan dari guru-guru honorer yang sudah mengabdi selama 5, 10, bahkan 20 tahun. Mereka telah lolos administrasi dan tes, bahkan mencapai passing grade, tapi hanya diberi status R4. Bukan ‘L’ (lulus). Artinya, digantung tanpa kejelasan,” ungkap Prabowo Pamungkas dari LBH Rumah Keadilan.
Ia menyebut kondisi ini sebagai kegagalan sistemik dalam tata kelola pendidikan dan rekrutmen tenaga pendidik. “Program pengangkatan satu juta guru melalui Undang-Undang ASN seharusnya berpihak pada mereka yang telah lama mengabdi. Tapi kenyataannya justru sebaliknya,” tambah Prabowo.
Ketua Aliansi R4 Honorer, Heru Aris, turut menyuarakan keresahan anggotanya. Ia menyoroti tidak adanya regulasi jelas yang mengatur status R4, berbeda dengan R2 atau R3 yang masih memiliki peluang diangkat meskipun tak lulus tes.
“Kami diminta terus menunggu. Tapi sampai kapan? Sementara masa depan kami dan keluarga kami dipertaruhkan,” kata Heru.
Salah satu suara haru datang dari Lilis Suryani, guru honorer yang telah mengajar selama 20 tahun di salah satu SMA negeri di Lampung. Ia mengungkapkan kekecewaannya atas perlakuan yang menurutnya tidak adil.
“Saya sudah mengabdi dua dekade. Tapi yang baru dua tahun mengajar malah langsung diangkat P3K. Kami ini apa? Tidak dianggap?” ucap Lilis dengan mata berkaca-kaca.
Tak hanya status yang tidak jelas, para guru honorer ini juga menghadapi kenyataan pahit, kesejahteraan yang jauh dari kata layak. Mayoritas hanya mengandalkan gaji dari komite dan dana BOS, dengan bayaran bervariasi mulai dari Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per bulan. Bahkan ada yang dibayar Rp25 ribu per jam dan itu pun belum tentu mendapatkan jam mengajar karena adanya ASN/P3K baru yang mengambil alokasi formasi.
“Kalau jam mengajar kami diambil, otomatis kami kehilangan kesempatan mendapatkan sertifikasi. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain pasrah,” ujar Juni Purwanti, guru dari Tulang Bawang Barat.
Sementara itu, Via Kurnia Imanika, salah satu guru SMA negeri di Metro, menyoroti persoalan formasi seleksi P3K yang tidak sesuai kebutuhan di lapangan. “Kami ini sudah lama mengabdi. Tapi saat formasi dibuka, jurusan kami malah tidak ada. Bahasa Indonesia, misalnya, padahal jelas-jelas dibutuhkan,” katanya.
Atas berbagai persoalan ini, para guru meminta pemerintah pusat dan daerah segera menerbitkan regulasi yang jelas dan adil bagi guru honorer R4. Mereka juga meminta transparansi dalam proses seleksi serta jaminan keberlangsungan pekerjaan mereka di sekolah.
LBH Rumah Keadilan berkomitmen akan terus mendampingi perjuangan aliansi guru honorer ini hingga ke tingkat legislatif.
“Kami akan mengawal aduan ini ke DPRD Provinsi Lampung. Kami minta agar Dinas Pendidikan dan BKD segera dipanggil. Ini bukan soal teknis administrasi, tapi menyangkut nasib guru-guru yang telah berjasa mencerdaskan bangsa,” tegas Prabowo.
Meski tengah dilanda ketidakpastian, para guru honorer R4 tetap menunjukkan dedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan.
“Kami tetap semangat mengajar. Karena kami tahu, masa depan anak bangsa ada di tangan kami. Tapi kami juga manusia. Kami butuh kejelasan, kesejahteraan, dan pengakuan,” pungkas Juni.
Berita ini menjadi pengingat bahwa di balik gedung-gedung sekolah dan deretan nilai ujian, ada para pendidik yang terus berjuang dalam bayang-bayang ketidakpastian. Mereka bukan sekadar tenaga kontrak. Mereka adalah penjaga masa depan pendidikan dinegeri ini. (Yoga)