DOK
MATAMATA.ID – Rencana pemindahan sekaligus memperbesar Tugu Pahlawan Raden Intan di jalan nasional menuai kritik tajam dari Doni Afandi, Gelar Kakhiya Pukhba Makuta, salah satu paksi dari Marga Keratuan Menangsi, Desa Taman Baru, Kecamatan Penengahan.
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini menegaskan, gagasan tersebut perlu ditinjau lebih kritis agar tidak menyederhanakan identitas Lampung Selatan hanya pada satu figur semata.
“Pembangunan monumen memang sah sebagai bentuk kebanggaan. Tetapi jangan sampai memberi kesan bahwa identitas Lampung Selatan dimonopoli hanya oleh figur Raden Intan. Padahal kita memiliki kekayaan adat istiadat, khususnya masyarakat adat Sai Batin, yang hingga kini belum pernah mendapat representasi dalam simbol-simbol ruang publik,” ujarnya.
Ia berpendapat, Lampung Selatan bukan hanya tentang satu pahlawan, melainkan juga rumah bagi beragam masyarakat adat dengan nilai luhur, tradisi, dan kearifan lokal. Representasi terhadap keragaman tersebut, menurutnya, justru akan memperkuat jati diri Lampung Selatan di mata warga maupun publik luas.
“Ikon adat Sai Batin, misalnya, hingga kini belum pernah disentuh sebagai bentuk representasi identitas kolektif Lampung Selatan. Jangan sampai pembangunan simbol daerah terjebak hanya pada satu narasi, sementara kearifan lokal yang lain terabaikan,” tegas Doni.
Doni menekankan, kritik ini bukanlah bentuk penolakan, melainkan ajakan untuk menata prioritas pembangunan daerah. Ia menilai, lebih relevan bila pemerintah juga menghadirkan ikon-ikon adat dan budaya yang mencerminkan keberagaman, misalnya melalui Taman Budaya, Festival Budaya, atau ruang publik yang menampilkan kekayaan tradisi Lampung.
Dari sisi kebijakan, Doni juga menyoroti pentingnya efisiensi anggaran. Ia mengingatkan agar pembangunan memiliki relevansi dan daya guna yang kuat di tengah kondisi keuangan daerah yang terbatas.
“Kalau memang daerah memiliki kemampuan anggaran yang mumpuni, menurut saya akan jauh lebih relevan bila dibangun monumen Tugu atau Patung Pengantin Sai Batin. Itu simbol pakaian adat Lampung Selatan yang notabene wilayah adat Sai Batin. Kehadirannya akan lebih tepat merepresentasikan identitas kultural daerah,” jelasnya.
Ia bahkan menyebut, gagasan visioner yang lebih bermanfaat adalah menghadirkan ruang publik inklusif seperti taman budaya, festival adat, atau pusat kesenian yang memunculkan kekayaan tradisi Lampung. Dengan begitu, monumen tidak hanya berfungsi sebagai tanda sejarah perjuangan, tetapi juga simbol kebersamaan.
Lebih lanjut, Doni mengingatkan adanya kebutuhan prioritas masyarakat yang sering terabaikan: perbaikan infrastruktur jalan.
“Kalau kita mau jujur, hari ini aspirasi masyarakat yang paling kuat adalah soal jalan rusak. Bagaimana caranya jalan di Lampung Selatan ini benar-benar mulus. Itu akan sangat besar dampaknya bagi kelancaran mobilitas, menurunkan biaya ekonomi, dan menghidupkan perputaran ekonomi masyarakat. Menurut saya, inilah yang jauh lebih dibutuhkan masyarakat saat ini,” tegasnya.
Sebagai penutup, Doni menekankan pentingnya dialog partisipatif dalam setiap gagasan pembangunan simbol daerah. Pelibatan tokoh adat, akademisi, generasi muda, hingga komunitas seni budaya dinilai krusial agar simbol-simbol identitas daerah benar-benar lahir dari aspirasi bersama, bukan sekadar proyek semata. (RLS)